Cari Blog Ini

10 menit saja kau bertahan..

Orang-orang hebat sebenarnya hanyalah orang-orang biasa yang memiliki tekad yang luar biasa. Saat orang-orang disekeliling anda menyerah dan mundur, kertakkan gigi anda dan cobalah untuk menggali sedikit lebih dalam. Sukses diraih dan dipertahankan oleh mereka yang terus mencoba. Majulah dan akuilah : hari ini anda mungkin belum mencapai apa yang anda inginkan, harapkan dan impikan. Salah satu kunci untuk mendapatkan impian anda adalah sebuah tekad untuk tidak menyerah.

Ralph Waldo Emerson berkata, "Seseorang disebut pahlawan bukan karena ia lebih berani dari orang lain, tetapi karena ia berani bertahan sepuluh menit lebih lama." Seorang atlit lari jarak jauh belajar untuk menjadi 'terbiasa'. Ia akan terus berlari hingga kecapekan, tetapi dia tidak akan berhenti. Pelari biasa akan menyerah. Tetapi, pelari jarak jauh tahu bahwa jika ia dapat menahan kesakitan itu sedikit lebih lama, ia akan menjadi 'terbiasa'.

Sebelum seseorang mencoba cukup keras dan cukup lama sampai ia menjadi 'terbiasa', maka ia tidak akan pernah tahu seberapa besar yang bisa ia capai. Ingatlah, kemampuan itu terdiri dari 95% tekad untuk tetap bertahan.

Minggu, 24 Juli 2011

Ya Rabb….. Aku merindukannya ……..( Melankolis Mode : ON)

Sebenarnya ini bukanlah kali pertama aku merasakan rindu yang mendalam. Ada getar yang aneh ketika aku merasakan ini. Terhitung dalam satuan tahun, lebih dari 6 tahun lamanya aku berteman dengannya. 3 tahun awal mungkin bagiku yang termanis ketika aku mengenangnya. Ya, dia sahabatku. Hanya sebagai sahabat. Kami berdua saling menyayangi dan mengasihi tidak lebih dari seorang sahabat. Kami les privat berdua, duduk di kelaspun berdua, meski saat itu aku sudah memiliki pacar dan sekelas pula, aku tak peduli, dia lebih berharga bagiku ketimbang pacarku sendiri.

Perasaan ini aneh, kita memang tidak mungkin untuk menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, namun kita jg tidak mungkin untuk dipisahkan. Saat-saat bersamanya adalah yang terbaik menurutku. Aku ingin tidak ada yang bisa memisahkan kita. Ini lebih dari sekadar cinta monyet belaka. Namun aku tegaskan sekali lagi, aku tidak menginginkannya sebagai kekasihku, tetapi sebagai sahabatku dan tidak ada yang boleh mengambilnya dariku. Ia adalah satu-satunya perempuan yang bisa membangunkanku saat aku tidur siang dikamarku, ia juga satu-satunya wanita yang berhasil mengalahkanku main PS di rumahku. Saat ia berderai air mata karena merasa telah dikhianati pacarnya, aku tahu tangisnya. Tuhan memang menciptakan dirinya dengan penuh kehati-hatian, sungguh ia menjadi sangat perasa ketika menangis. Dalam limpahan sujudnya, ia pun menangis tersedu-sedu. Ingin rasanya aku merasakan pedih yang ia alami. Ingin rasanya aku pukuli lelaki itu yang tidak lain adalah sepupuku. Tetapi pertimbanganku adalah menemaninya saat itu adalah pilihan yang tepat. Aku menunggunya, lama sekali. Aku menemaninya saat ia butuh dukungan moril untuk itu. Namun tak pelak, sakit hati yang ia terima saat itu membuatnya menjadi liberal dalam berhubungan. Ia tidak suka dikekang oleh siapapun dalam berteman maupun pacarnyapun yang memintanya. Dia lebih memilih putus dari pada harus mengikuti perintah lelaki. Sepertinya ia mengalami trauma psikis yang berdampak jauh lebih besar dari yang aku duga. Akibatnya, aku juga demikian. Kini kami sama-sama liberal.

Suatu pagi di bulan September semester awal masuk SMA, ia menghubungiku, ia mengatakan bahwa ingin memiliki pacar. Ia memintaku untuk membantunya. Tak pelak akupun mencarikan yang terbaik untuknya. Aku hubungi satu-satu teman laki-lakiku, ternyata tidak ada yang masuk daftar kualifikasinya. Hubungan kami masih baik-baik saja sambil tetap aku mencarikan seseorang yang terbaik bagi dirinya. Hingga suatu saat aku mendengar dari temanku yang lain bahwa dia telah berpacaran dengan lelaki yang ia kenal lewat chat dan ternyata ia masih satu sekolah dengan kami. Anehnya ia tidak menceritakannya padaku. Jelas aku kecewa, aku mencoba bertanya mengapa aku tidak ia beritahu. Ternyata itu menimbulkan perdebatan panjang diantara kami. Ia menyentakku dengan keras dan berkata bahwa aku tak berhak mengatur-ngatur apa yang harus dan tidak boleh ia lakukan. Aku terdiam, kaget luar biasa. Bagaimana bisa ia membentakku seperti itu. Itu yang kemudian membuatku dan dirinya tidak saling tegur sapa dalam waktu yang cukup lama, seperti ada jurang pemisah diantara kita berdua. Pernah suatu saat, dalam rentang waktu ketika kami bermusuhan, ia mencoba mengakrabkan dirinya lagi denganku. Ia mencoba membantuku dalam pelajaran bahasa inggris, meski tak kugubris namun harus aku akui, aku cukup terbantu olehnya. Sebenarnya saya tidak bermaksud marah padanya karena ia ternyata memiliki pacar, namun yang lebih aku sesali adalah mengapa ia tidak bercerita kepadaku. Itu saja.
Pertengakaran kami pun berakhir. Entah siapa yang menghubungi duluan, aku lupa. Kemudian ia bertanya padaku mengapa aku menjauhinya, aku jawab karena ia membentakku, ia pun mencoba mengingatnya meski lupa. Lalu ia berkata bahwa sebenarnya ia tidak bermaksud kasar kepadaku dan aku anggap bahwa aku saja yang sensitif pada saat itu.

Hingga menginjak tahun kedua di SMA, aku dan dia harus berpisah kelas. Ia memilih keluar dari unggulan dengan alasan kurang nyaman berada dikelasku. Akupun memahaminya. Tanpa aku sadari, hubungan kita mulai renggang. Entah karena jarang bertatap muka atau dia yang sibuk dengan pacar barunya. Namun komunikasi kami masih lancar meski ia tidak pernah lagi main ke rumahku. Suatu saat aku diundang ke pesta ulang tahunnya. Dari kelasku, hanya aku lelaki yang ia undang. Jelas aku bangga. Aku yang memperhatikannya selama pesta berlangsung melihatnya dari kejauhan. Ia sangat bahagia bersama kekasihnya. Orang tuanya pun juga memberikan sinyal persetujuan pada pacarnya ini. Aku yang melihat itupun ikut bahagia. Dia sahabat terbaikku, ketika ia telah memilih seseorang untuk menjadi tempat curahan hati yang sebenarnya, saat itu pula aku merasa sudah waktunya untuk menarik diri perlahan-lahan dari hidupnya. Namun ia berjanji akan terus menjadi sahabatku sampai kapanpun. Mungkin penganggapanku kepadanya terlalu besar daripada apa yang ia anggap kepadaku. Namun aku tak peduli, karena ini bukan persoalan mencintai dan dicintai, aku tak butuh jawaban atas ini semua Karena memang tidak ada yang perlu di jawab.

Namun janji tinggal janji. Aku benar-benar kehilangan dirinya. Aku melihat ia sebagai seorang yang lain, bukan ia yang dulu. Kini tak ada lagi keakraban diwaktu itu. Aku harus memendam jauh-jauh kenangan itu. Ia terlalu sibuk dengan dunianya. Namun kuharap ia akan tetap baik-baik saja. Meski sama-sama satu kota kuliah, namun jarak kami sangat jauh. Yah, yang terbaik hanya ada satu. Semoga ia bahagia dengan orang yang ia cintai, dan aku cepat-cepat mendapatkan cinta yang lain, namun tidak dalam waktu dekat ini. amien….. ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts